Ada yang dapat kita catat dari kejadian belakangan ini, yaitu
persoalan reklamasi lengkap dengan bocoran bekas wagub DKI Ahox yang
melibatkan perusahaan properti swasta mendanai proyek-proyek penggusuran
kawasan miskin kota dan satu lagi adalah isu hantu komunisme.
1.0
Yang pertama,yang kita lihat hari ini sebenarnya gejala yang bermula
sejak pertengahan abad ke-19. Sosiolog seperti David Harvey, dan
sebelumnya Levebvre menjelaskan bagaimana untuk mempertahankan
eksistensinya terutama di wilayah urban maka kapitalisme menancapkan
pertaruhannya dalam bukan hanya perebutan ruang (koloni) untuk
memproduksi komoditas, tetapi kini ruang sebagai komoditas itu sendiri
(1976,21).
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan segera (immediate
needs) seperti tempat tinggal, tempat bermukim, atau tempat berusaha
maka ruang telah menjadi titik putar dari persoalan-persoalan kota.
Persoalan klasik perkotaan adalah persoalan bagaimana keberlanjutan atau
ketakberlanjutan dari keuntungan akan ditentukan melalui kontrol
sebesar mungkin atas penguasaan ruang. Secara sosial produksi ruang
adalah syarat dasar agar orde, aturan, dapat bertransformasi ke arah
yang menguntungkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari kapitalisme.
Perspektif pencarian dan penciptaan ruang ini cukup memperjelas mengapa
pemda, pemprov memaksa menggusur pemukiman yang dikategorikan sebagai
kumuh, jorok, penyebab banjir melalui kampanye orde baru dan
transformasi kehidupan yang lebih layak di rusun bagi penduduk, nelayan
miskin di perkotaan. Nalar sebenarnya tetaplah sama, yaitu bagaimana
pemda menggunakan mekanisme kekuasaan untuk menguasai tanah-tanah yang
dihuni para pendatang (citadin) di kota-kota.
Penyebabnya adalah
pemerintah tidak lagi banyak memiliki tanah karena telah dijual ke
pihak swasta pengembang. Proses dialektika ekonomi-politik ini terus
akan berlanjut di waktu-waktu mendatang. Kapital swasta dengan tabiat
dan sifatnya akan terus memaksa pemerintah menyediakan ruang-ruang untuk
memberanakkan modal-modal mereka. Sehingga demi meyakinkan bahwa
produksi ruang-ruang tadi akan tetap jatuh kepada kelompoknya, maka
pemilik kapital ini akan dengan senang hati memberikan satu bentuk
kerjasama ekonomi-politik saling menguntungkan dengan penguasa.
Di sinilah kemudian koalisi klasik dari dialektika borjuasi-pengusaha
yang dulu dikritisi Karl Marx dalam penguasaan alat-alat produksi
berlanjut dengan penguasaan ruang-ruang produksi. Yang kini menjadi ciri
khas perkotaan dan sebagai bukti bahwa persoalan masyarakat hari ini
tidak terlalu jauh berbeda dengan persoalan manusia 200 tahun yang lalu.
yaitu dialektika sosio-spasial untuk mencari ruang keadilan, dan kini
keadilan ruang.
2.0
Pada isu kedua tentang komunisme, maka
kita harus mengembalikannya kepada agenda dialektika itu sendiri. Apa
yang kita lihat dengan isu kominis ini tidak lain dari dialektika
kompetisi di tubuh si pemilik isu itu sendiri. Bahwa satu pihak yang
diwakili purnawirawan TNI Luhut mengatakan bahwa logo palu-arit, dan
tulisan PKI hanyalah trend mode berpakaian anak-anak sekarang dan pada
kesempatan lain Menhan Ryamizard menyebutnya sebagai ancaman atas
ideologi Pancasila yang tidak dapat ditolelir. Keduanya hanyalah
kembangan dari persoalan lain yang sekedar mendompleng isu kuminisme
Dialektika antara apakah komunisme ini sebuah trend atau ia satu
ideologi inilah yang menjelaskan mengapa semenjak 1970'an kajian-kajian
Marxsisme menjadi lebih terbuka terhadap isu-isu yang lain seperti
musik, fenomena mode pakaian, arsitektur, lesbian-gay, dll.. Bila kita
perhatikan maka dialektika Marxisme hari ini sebenarnya bukan lagi
persoalan historis dan atau historikal seperti peristiwa-peristiwa,
tragedi-tragedi pembantaian. Ia juga bukan persoalan mekanisme temporal
seperti thesis-anti-thesis-sintesis, dan bukan pula persoalan logika
afirmasi-negasi-negasi dan negasi.
Dengan kata lain isu
komunisme dengan dialektikanya hari ini tidak lebih dari persoalan
bagaimana mengenali tempat, dan mengenali apa yang "mengambil tempat"
dari perhatian publik dan bagaimana kita "mengambil tempat" dan
memaksimalkan manfaat dari kontradiksi yang diciptakan. Singkatnya
Marxisme atau anti marxisme (yang kemudian kita mudahkan dengan komunis
vs anti komunsi) hari ini adalah sejenis ruang dimana diproyeksikan
kebodohan yang genit dengan tujuan "Commentum Ergo Sum" Aku berkomentar
maka aku eksis.
Kerapnya kontradiksi yang muncul seputar
komunisme ini membuat perhatian kita sedikit terganggu. Yang membuat
kita dengan mudah mengembalikan persoalan perebutan ruang (penggusuran
kawasan Kampung-kampung tua Jakarta) dan produksi ruang (reklamasi Teluk
Jakarta) sebagai persoalan bagaimana pemerintah seharusnya menghargai
dan melindungi hak-hak warga nagari atas kota (citadin/city rights)
menjadi persoalan diskursus belaka.
0 comments:
Post a Comment