Saiya membaca posting-an yang merujuk kepada sambutan Ridwan Kamil
di acara UMY Yogja beberapa hari lalu. Isinya antara menanggapi preseden
ada agenda-ada maunya soal Ridwan banyak mendatangi tokoh-tokoh
politik.
Ridwan menjelaskan bahwa ia ingin selalu belajar dari
siapapun dan apapun sambil mengatakan bahwa ada empat tipe pemimpin.
Pertama tipe ideologis seperti para rasul dan nabi, kedua pemimpin tipe
geografis seperti raja atau ratu, ketiga tipe revolusioner seperti
tokoh-tokoh pergerakan Soekarno, Hatta, dan keempat tipe orang
kebanyakan. Yang dia maksud orang kebanyakan adalah seperti Risma,
Jokowi, dll, yang gayanya dianggap sama-mirip dengan rakyat kebanyakan.
Saiya bukanlah pencinta kelas motivator dan pembagian kategoris
kepemimpinan seperti itu memang khas produk buku-buku sekolah manajemen
di Harvard. Dia pikir Obama, Merkel, atau Risma, Ahok atau Jokowi itu
orang kebanyakan? Siapa yang dimaksud dengan orang kebanyakan itu tentu
kita akan berdebat kusir menjelaskannya. Seperti apakah Jokowi yang
pengusaha eksportir meubuel internasional dan mampu menyekolahkan
anaknya ke Singapura itu adalah rakyat kita kebanyakan?
Yang
harus kita difahami dari persoalan kepemimpinan publik bukanlah
persoalan anda atau dia berasal dari siapa dan dari mana, tetapi kita
harus faham bahwa mereka para pejabat itu digaji dengan uang publik yang
dipungut dari pajak, restribusi, dll..
Sehingga di sini yang
kita akan gunakan bukanlah ukuran moralitas a la motivator komunikasi
publik seperti pakaian sederhana, blusukan, menyalami pedagang pasar
dll, tetapi fakta bahwa para pejabat publik itu makan, minum, sakit,
sampai beraknya dibayar dengan uang publik. Sederhananya mereka
sebenarnya bukan pemerintah dalam pengertian tukang memerintah tetapi
babu masyarakat, istilah yang dilembutkan oleh Dr. Mohammad Hatta dengan
bukan PEMERINTAH tetapi PENGURUS nagari, Pengurus Rakyat.
Membaca persoalan hubungan publik-negara, dan lebih terkini lagi
publik-kota adalah persoalan take and give antara social obligation atau
mandat publik (sekali lagi pemegang mandat bukan amanah) yang ada pada
pejabat publik dengan public responsibility atau tanggung jawab yang ada
pada publik untuk mengkritisi, dan mengawasi jalannya mandat tadi.
Realitasnya di Indonesia hal tadi masih bercampur aduk antara mandat
sebagai amanah, dan amanah sebagai kekuasaan politik misalnya. Inilah
yang kemudian membawa seluruh persoalan kepengurusan publik misalnya
dianggap politis dalam pengertian negatif. Sementara apa saja yang
ditarik ke wilayah politis di negeri kita dianggap hal yang buruk.
Sebagaimana cara Ridwan menangkis dengan alasan "belajar" dari tudingan
bahwa ia "Ada Maunya" dengan mendatangi tokoh-tokoh politik. Padahal
tentu saja kunjungan seperti itu mesti politis, ini karena apa yang
dilakukan manusia bahkan anak kecil yang menawar harga cilok, cireng
kepada penjualnya saja adalah tindakan politik.
Kembali kepada
persoalan yang terukur tadi. Awal bulan lalu berkunjung ke Bandung
menghadiri undangan silaturahmi Mahasiswa Nasional, dimana hari hujan
dan kemacetan serta jalan yang berobah menjadi sungai dengan limpahan
sampah-sampah mengingatkan saiya bahwa sejak Walikota Dada Rosada
persoalan ini memang belum juga terselesaikan.
"Akang jangan
takut terlambat ke acara," Team penjemput berbohong untuk menghibur hati
dan ia semakin membuat saiya gelisah karena rupanya ia tidak
menggunakan motor.
"Kalau motor, nanti akang basah dan kurang sopan menjemput narsum dengan motor."
Dibutuhkan waktu dua jam setengah dari Stasiun Bandung ke tempat acara
di Bandung Utara (Ciburial) yang jika ia mengikuti mau saiya dijemput
dengan motor barangkali seperempat atau satu jam adalah hal yang wajar.
Waktu yang dua jam itu tentu bisa digunakan untuk membuat simulasi
diskusi dan panel membahas bagaimana mahasiswa dapat merancang
rekomendasi politis bagi kota-kota.
Hal yang sedikit mengagetkan
mereka ketika saiya katakan bahwa mereka yang hadir dilokasi adalah
selected groups, hanya 20% kelompok elit yang terpilih dari hampir satu
juta lulusan SMA/SMK/Aliyah dan jutaan lainnya yang orang tuanya tidak
mampu menyekolahkan anaknya ke kampus di kota-kota.
"Anda jangan berpikir bahwa anda adalah rakyat kebanyakan, dan memang kenyataannya anda bukanlah rakyat kebanyakan."
Saiya menyarankan agar mulai hari ini mereka bersiasat dengan
kritik-kritik dan rekomendasi karena itu adalah bagian dari amanah yang
datang dari anda sendiri sebagai bagian dari tanggungjawab moral. Bahwa
mereka kuliah karena rakyat kebanyakan yaitu orang tua mereka sendiri
telah bersusah payah menempatkan mereka dalam eskalator sosial yang
mungkin akan membuat nasib orang banyak berubah menjadi lebih baik.
0 comments:
Post a Comment