Saiya tertarik menambahi status Kang Yanuar Rizky
yang menanggapi kritikan kurang up-datenya pengurus RT/RW di DKI
terhadap aplikasi Qlue, yaitu satu program aplikasi pelaporan berbasis
media berbagi Android.
Qlue, sendiri sebenarnya mirip dengan
aplikasi lain yang dikembangkan di bawah jargon SMART City dan aneka
turunannya seperti ADEQUATE City dimana sistem pembuatan kebijakan dan
eksekusinya diharapkan menjadi lebih cepat melalui saluran informasi
berbagi ini.
Menurut si Akang, mengharapkan pengurus RT/RW
melekat dengan program ini terlalu berlebihan, mengingat bahwa selain
mereka bukan aparatur prosedural pemerintahan atau birokrasi para
pengurus ini memiliki pekerjaan aktual lain. Tidak mudah memilih
pengurus RT/RW di kota yang sibuk seperti Jakarta. Singkatnya bila RT/RW
tidak atau kurang mengerti Qlue mereka tidak dapat dipersalahkan karena
selain mereka bukan pegawai Pemda menggunakan program ini juga bukan
suatu kewajiban.
Bila kita menarik kembali persoalan RT/RW
dalam konteks kebijakan publik dan sistem kepemerintahan sebetulnya awal
mereka adalah sebagai sistem kontrol dan administrasi terkecil untuk
menggantikan sistem sosial tradisional yang ada di masyarakat. Melalu
tata kelola kantor (administratif) seperti pencatatan dan pelaporan
publik menjadi terarsipkan dan tertata baik.
Adalah pemerintahan
Militer Jepang yang memperkenalkan RT/RW dengan tujuan keamanan dan
kerukunan. Yang sampai hari ini hastagnya mungkin masih bisa dilihat di
plang-plang #1x24
Jam Tamu Harap Lapor. Model yang diimplementasikan militer Jepang ini
mudah saja diterima di Indonesia, karena dapat diadaptasi dengan
masuknya disposisi pengambilan kebijakan melalui musyawarah-mufakat
RT/RW. Guyup atau kebersamaan dalam pengambilan keputusan ini yang
memang cocok dengan budaya orang kita menyelesaikan masalah-masalah
hidup bertetangga.
Sejak saat itu belum ada perubahan berarti
dengan konsep kerukunan sebagai a civic-forming atau pemasyarakatan a la
perkotaan Indonesia yang ingin diciptakan melalui RT/RW. Pada masa Orba
beberapa hal diterapkan melalui kegiatan kemasyarakatan seperti Ronda
Siskamling, kerjabakti, tumpengan HUT RI, Puskesmas, PKK, dll.
Selagi sistem ini belum mapan, maka kita menyaksikan jika kini persoalan
kota besar mulai bergerak ke arah sebaliknya. Persoalan mulai dari
kedatangan anak-anak kost, pekerja musiman, sampai hari ini pekerja
komuter yang setiap hari atau minggu ulang alik Jakarta ke kota-kota
kon-urban lainnya sampai urusan sampah adalah persoalan RT/RW yang
bertambah pelik. Boro-boro membangun satu kerukunan, mengajak mereka
terlibat aktif dalam kegiatan pemasyarakatan hampir dibilang mustahil
dengan kesibukan orang kota hari ini.
Para pekerja komuter yang
kadang-kadang nebeng alamat buat dapat akun bank atau membeli apartement
yang dihuni singgahan atau kaum Dweller ikut menciptakan persoalan
RT/RW. Persoalan yang berbeda dengan mereka yang memang inhabitan
(penduduk mukim) di DKI. Misalnya dari segi kepentingan soal tempat
tinggal misalnya, warga pemukim Luar Batang, Kampung Pulo, Kalijodo, dan
tempat-tempat lain yang digusur akan berbeda kepentingannya dengan
"warga DKI" yang sebenarnya hanya singgah. Satu pihak menuntut adanya
tempat tinggal layak dan dekat dengan tempat kerja, yang lain ingin DKI
bersih dan bebas macet karena stress dalam perjalanan pulang-pergi
kantor.
Sehingga civic forming atau pembentukan masyarakat sipil
di perkotaan yang dicita-citakan terutama di kota seperti DKI Jakarta
semakin sulit terwujud. Mengingat mekanisme musyawarah-mufakat sebagai
wujud paling aplikatif dari Kerukunan Tetangga dan Warga nya bergerak ke
arah individualisme. Sekarang siskamling digantikan agen-agen penyedia
tenaga sekuriti, gotong-royong bersih-bersih got diout-sourcing ke
pasukan oranye melalui tender pengadaan barang dan jasa dll.,-dll.
Menjadi tidak aneh jika aplikasi seperti Qlue menjadi sistem pelaporan
kota yang semakin individualistik dan pragmatis. Orang hari ini
menganggap ikatan terhadap tempat tinggal dan tempat mencari kerja
hanyalah persoalan material dan bukan sosial kemasyarakatan lagi.
Meski demikian bila kita berharap pengurus RT/RW di DKI wajib faham
sistem pelaporan aplikasi seperti Qlue maka kira-kira apakah warga
penghuni maupun yang hanya menjadikan Jakarta tempat mencari makan itu
juga harus mau dengan sukarela melapor diri melalui aplikasi RT/RW dalam
1x24 Jam atau melaporkan kondisi keamanan gang-gang tiap jam sebagai
satu bentuk ronda siskamling digital.
0 comments:
Post a Comment