Sewaktu
masih kuliah di Tut Tek Dung, saya diperkenalkan pada Hukum Panitia OS
yang berbunyi: (1) Panitia selalu benar, dan (2) Jika Panitia salah maka
lihat nomor (1).
Adalah lazim bahwa kebanyakan manusia tak
akan suka disalahkan, termasuk saya sendiri. Menyakitkan rasanya. Dalam
Islam, ada istilah “hawa nafsu” yang merupakan hasrat imaterial, hasrat
yang 'menyeru' manusia kepada dirinya sendiri,
bahwa akulah yang paling benar, bahwa akulah yang paling pandai, bahwa
aku tak boleh dihina, bahwa aku tak boleh dipersalahkan, bahwa aku ingin
berkuasa, dan berbagai “aku-sentris” lainnya.
Adalah sulit untuk melawan hawa nafsu, sehingga Rasulullah Muhammad saw pun menyebutnya sebagai “jihad akbar”...
(“Tapi Kang Al, itu bukan hadits. Itu adalah perkataan Abu Bakar.” ...
Ya, tak apa-apa kalau ‘hanya’ perkataan Abu Bakar juga, toh tak mungkin
Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mulia itu akan mengatakan sesuatu yang
bertentangan dengan Rasulullah Muhammad saw.)
Sekalipun memang
susah melawannya, namun bukan berarti ‘mengafirmasi’ hawa nafsu adalah
jalan keluarnya. Dan, salah satu jalan untuk berlatih melawan hawa nafsu
itu adalah kejujuran dan kerendahhatian khas dunia ilmiah yang biasa
disebut sebagai objektivitas.
(“Tapi Kang Al, apakah
objektivitas itu memang ada?” Iya, kebetulan guru filsafat saya yang
pertama adalah salah satu pakar hermeneutika di republik ini. Saya
sedikit tahu soal itu. Tapi kita pakai saja dulu kata ‘objektivitas’
dalam makna yang menyiratkan ‘keterbukaan dan tak tergesa-gesa dalam
menyimpulkan sesuatu.’ Boleh kan?)
Menjelang akhir pengerjaan
disertasinya, istriku tercinta yang cantik jelita itu berkata dengan
nada kecewa bahwa ternyata hasil penelitian S3-nya tidaklah signifikan.
Dia meneliti meningitis dalam proyek disertasinya. Dia melakukan
penelitian pada para pasien meningitis. Mungkin untuk kita yang awam,
bayangkan saja perumpamannya begini. Selama ini dengan treatment standar
yang ada, para pasien meningitis bisa membaik dalam waktu setahun. Nah
berdasarkan penelitian tersebut, bagaimana kalau treatment-nya agak
diubah, apakah pasien akan lebih cepat membaik? Ternyata pasien hanya
jadi membaik satu jam lebih cepat saja. Ini hanya perumpamaan saja ya.
Agar mudah membayangkan.
Istri cantikku itu lalu bercerita soal
‘ketidakpercayaan’ akademisi luar -- khususnya Barat -- terhadap
penelitian di Indonesia, sebab tak jarang yang terjadi adalah ‘fabrikasi
data’ hanya agar terlihat bahwa penelitian tersebut berhasil.
Dalam suatu percakapan bersama Mursyid Penerus, saat baru saja
menyelesaikan disertasinya, beliau berkata bahwa semua penelitian
mahasiswa S3 itu harus menghasilkan sesuatu yang “berhasil” dan
“terbukti” agar bisa lulus. Kenapa tidak bisa kesimpulannya adalah
“gagal” dan “tidak terbukti”?
Sebagaimana umumnya diketahui
bahwa penulisan tugas akhir itu dimulai dari Bab Pendahuluan berisi
berbagai pertanyaan teoretik yang hendak dijawab, dan bukan dari Bab
Kesimpulan. Nah, untuk mahasiswa S3, porsinya berbeda. Mereka harus
menghasilkan suatu kebaruan. Gambaran gampangnya begini: kalau selama
ini Rasulullah dikenal sebagai nabi pembawa agama, pedagang, pemimpin,
panglima perang, suami dari sekian istri, sosok yang dicintai lebih
daripada para sahabat mencintai diri mereka sendiri, maka dalam
disertasi ini sang mahasiswa S3 akan “membuktikan” bahwa Rasulullah juga
adalah seorang eksistensialis.
Nah, apakah sang mahasiswa akan
dinyatakan lulus jika dia berhasil “memperlihatkan” bahwa Rasulullah
memang “terbukti” sebagai seorang eksistensialis, meskipun Islam yang
dibawa Rasulullah memiliki pandangan ihwal hidup dan manusia yang
berbeda sama sekali dengan eksistensialisme? Mungkin salah satu
permasalahannya adalah “bagaimana bisa diterima bahwa waktu studi dan
riset selama 4 tahun atau bahkan lebih itu hanya dihabiskan untuk
menuliskan kesimpulan ‘ternyata saya salah’ dan ‘pendirian teoretik baru
yang ingin saya hasilkan ternyata tak terbukti’...” Jika memang
demikian keberatannya, lantas di manakah “kejujuran ilmiah bernama
objektivitas” apabila sang mahasiswa malah seperti diajari untuk
“berusahalah semaksimal mungkin untuk ngeles guna membuktikan bahwa saya
benar”?
Memang ada perbedaan antara sains dengan humaniora.
Sebagaimana saya tulis dalam makalah berjudul “Qui a peur de la
philosophie?: Antara Prasangka, Fikrah dan Objektivitas”, salah satu
perbedaannya adalah masalah hermeneutika tunggal (single hermeneutics)
dengan hermeneutika ganda (double hermeneutics).
Hermeneutika
tunggal artinya bahwa tindakan menafsir dan menganalisis dalam ilmu alam
itu berlangsung satu arah, yaitu dari sang saintis kepada objek yang
diamatinya. Tak ada tafsir apa pun yang dilakukan oleh objek sains
terhadap sang saintis.
Hermeneutika ganda artinya bahwa
tindakan menafsir dan menganalisis berlangsung dua arah, karena
ilmu-ilmu sosial mengamati manusia. Misalnya, prediksi seorang ekonom
soal bencana ekonomi yang akan terjadi di Indonesia 2017 bisa disikapi
kepanikan oleh masyarakat dan berdampak pada tindakan para pelaku pasar.
Namun, pelaku analisis/pengkaji/ilmuwan sosial dan apa yang
dilakukannya merupakan bagian dari praktik sosial, yang pada gilirannya
juga dapat dianalisis oleh ilmuwan sosial lainnya. Berbeda dari
ilmu-ilmu alam, para pelaku ilmu-ilmu sosial (ilmuwan sosial) tidak
sepenuhnya terpisah dari objek yang dikajinya.
Akan tetapi
apakah karena ini pula maka dalam ranah humaniora, segala pendirian
teoretis itu “benar” selama bisa diargumentasikan secara licin dan penuh
akal-akalan? Kembali pertanyaannya adalah “lantas di mana integritas
sang peneliti untuk mencoba bersikap objektif dan menerima bahwa
ternyata dirinya memiliki kesimpulan yang salah?” Kadang hal ini malah
menjadi kabur dengan klaim-klaim indah ihwal “pluralisme”, “penafsiran
baru”, dan “keterbukaan menerima kritik untuk nantinya dijawab dengan
‘ngelesan’ lainnya”, sebagaimana sering juga dilakoni oleh saya sendiri.
Ini menggiring ingatan saya kepada Sokrates. Ada satu hal yang mengagumkan dari Sokrates jika membaca kitab Kriton.
Dalam kitab itu, Kriton menawarkan Sokrates untuk melarikan diri dengan
cara menyuap penjaga penjara. Sokrates menolaknya sebab dia tak mau
“menghancurkan” Athena dengan cara melanggar hukum-hukumnya, terlebih
dia sendiri adalah salah satu warganya. Bagi Sokrates, memperlakukan
seseorang dengan buruk sama saja dengan memperlakukannya dengan tidak
adil. Sokrates juga sadar jika dia dihukum dengan cara yang tak adil,
namun Sokrates mengingatkan Kriton ihwal percakapan lama mereka bahwa
seseorang tak boleh membalas perlakuan buruk yang diterimanya. Balas
dendam itu sama sekali tak dibenarkan. Sokrates juga menegaskan bahwa
pendapat kebanyakan orang bukanlah sesuatu yang pasti benar. Sokrates
lebih mempercayai satu orang yang memang ahlinya, daripada suara orang
banyak, ihwal suatu perkara. Namun itu pun bukan menjadi pembenaran
baginya untuk lantas melanggar hukum Athena, apalagi dengan cara
menyuap. Selain itu, Sokrates pun tak menaruh benci atau menyalahkan
siapa pun atas ketidakadilan yang dialaminya, bahkan tidak juga kepada
Aristophanes yang membuat pertunjukkan teater untuk menyebarkan fitnah
bahwa Sokrates adalah seorang gay yang mengincar para pemuda Athena dan
bahwasanya Sokrates pun mengajarkan relativitas moral.
Bagi saya ini sangat luar biasa.
Sokrates menjadikan filsafat bukan sebagai seni mencipta konsep-konsep
(rumit) sebagaimana didefinisikan oleh Deleuze & Guattari. Sokrates
menjadikan filsafat sebagai jalan hidup, sebagai suatu integritas yang
tak memisahkan antara etika dengan epistemologi, yang tak memisahkan
antara ke-semau-gue-an di ranah privat dan ke-jaim-an di ranah publik,
yang tak memisahkan hasrat tak terkendali lagi motivasi busuk
tersembunyi di ranah privat yang kemudian dibungkus dengan konsep-konsep
canggih lagi rumit di ranah publik. Sokrates menghidupi filsafat di
ranah privat dan publik dalam keseharian hingga ajal menjemputnya, dan
bukannya menawarkan kerumitan pikiran ke ranah publik sembari menutupi
keliaran hasrat tak terkendali dan niat busuk di ranah privat.
Menurut saya, sofisme yang dilawan oleh Sokrates bukan semata berbentuk
akrobat logika yang merelatifkan kebenaran hanya demi mendapatkan uang
sebagaimana dilakoni oleh kalangan Sofis, tapi juga bagaimana daya pikir
manusia malah dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh epithumia (hasrat
material) maupun thumos (hasrat imaterial) untuk mendapatkan apa yang
dimauinya. Baik epithumia maupun thumos adalah bagian dari jiwa yang
fana (mortal), berbeda dengan bagian lain dari jiwa yang abadi (imortal)
dan bahkan serupa dengan Idea. Itulah kenapa Sokrates mengatakan bahwa
filsafat itu adalah ilmu untuk belajar mati, yaitu agar seseorang yang
belajar filsafat bisa lepas dari epithumia dan thumos dengan berlatih
mati, sehingga psukhé (jiwa) bisa lepas dari soma (tubuh), dan psukhé
pun bisa belajar tanpa harus terganggu oleh hasrat-hasrat tersebut.
Dalam Islam dikenal ajaran bahwa hati (qalb) itu ibarat raja,
sedangkan anggota badan itu ibarat prajuritnya. Bila sang raja buruk,
maka akan buruk pula seluruh prajuritnya.
Saya baru mulai
memahami kenapa Mursyid Penerus selalu menegaskan berulang kali agar
kami, para saliknya, senantiasa belajar membangun sikap objektif, dan
ternyata saya sendiri masih sering gagal membangun sikap ini.
(“Iya, Kang Al juga sering tidak objektif.” Sumuhun, saya memang seburuk
itu, bahkan masih banyak keburukan saya yang belum Anda sebutkan, dan
seperti yang saya tuliskan di atas, kebanyakan manusia itu tak suka jika
disalah-salahkan. Begitu juga saya. Begitulah keburukan yang masih
menempel di diri saya. Namun, semoga setelah teguran dari Anda ini, saya
pun bisa mendapatkan ilmu dan hikmah dari Anda ya. Amin Ya Rabb
Al-Alamin.)
Beberapa minggu ini saya baru mulai menyadari bahwa
(berusaha untuk) bersikap objektif itu pun membersihkan hati. Bahwa
saya seharusnya mencoba untuk tidak begitu saja dipermainkan oleh
ketidaksukaan atau bahkan rasa benci kepada seseorang atau suatu
kalangan sehingga ketidaksukaan atau rasa benci itu malah memanipulasi
dan memanfaatkan segenap kemampuan pikir yang saya punya hanya untuk
menyerangnya, mempermalukannya, mendelegitimasinya, dan di atas itu
semua adalah “membuktikan bahwa saya pasti benar, sebab jika saya salah,
maka ketahuilah bahwa saya pasti benar.” Permasalahannya, ketidaksukaan
atau rasa benci itulah yang membuat saya selalu melihat orang atau
kalangan yang tidak saya sukai atau benci senantiasa melakukan
kesalahan; apa pun yang mereka lakukan pasti salah, sebab salah sudah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka. Adapun kebenaran
itu ada di pihak saya dan teman-teman yang sepikiran dengan saya. Titik!
Ternyata seburuk itu saya selama ini... Astagfirullah Al-Adzim. Hampura Gusti Nu Agung.
Nah, dengan status panjang ini, sekalian saya pun mohon pamit untuk
mundur dulu dari dunia media sosial, khususnya FB. Permasalahan utamanya
adalah ada begitu banyak deadline yang harus saya penuhi hingga bulan
Juli tahun ini, dan itu akan menyita banyak waktu. Semoga hingga saat
pekerjaan itu selesai, euforia cupras capres pun sudah berlalu, dan saya
pun bisa ngemedsos lagi dengan kondisi diri yang lebih baik dan tak
merasa paling benar. Mohon maaf juga jika berbagai comment Anda di
postingan ini tidak selalu saya jawab. Adapun jika Anda merasa bahwa
postingan ini ada gunanya, serta berniat nge-share, silakan saja, tak
perlu minta izin segala.
Oh iya, mungkin sesekali saya akan
muncul di akhir pekan, jika ada sesuatu yang saya rasa berharga untuk
dituliskan. Mohon maaf jika selama ini ada banyak salah kata yang saya
tuliskan dan menyakitkan Anda, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Demikian. Salam.